Senin, 06 Juni 2016

Kearifan Masyarakat Toraja

MAKALAH


KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT
TORAJA

 


                                                                                     
          



OLEH :
KELOMPOK


1.      RISAL GUNAWAN                     
2.      NURHIKMAH HARDILLAH       
3.      MUNARDING                                 



PROGRAM STUDI TEKNIK TAMBANG KONS. REKAYASA SOSIAL TAMBANG
FAKULATAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2016


KATA PENGANTAR


Alhamdulillah hirabbil ‘alamin, segala puja dan puji syukur tak hentinya penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayat-Nya yang tercurah untuk hamba-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan Makalah : “Kearifan Lokal Masyarakat Toraja,”.
Makalah  ini disusun untuk memenuhi salah satu Tugas Mata Kuliah Kearifan Masyarakat Lokal. Penulis menyadari bahwa terselesaikannya penulisan Makalah ini tidak lepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati perkenankanlah penulis untuk mengucapkan terimakasih yang sebesar-besearnya kepada kepda berbagai pihak tersebut.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dari Makalah ini baik dari materi maupun teknik penyajiannya, mengingat kekurangnya pengetahuan dan pengalaman penulis. Oleh karna itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan.


  Kendari, 16 April 2016


Penyusun        







DAFTAR ISI

                                                                                                                                
HALAMAN JUDUL …….………………………........……………………..........           
KATA PENGANTAR ……………………………………………………............           
DAFTAR ISI ……………………………………………………...............................
BAB I PENDAHULUAN
I. 1 Latar Belakang …………………………………………….............…  
I. 2 Tujuan …………………………………….............……………………
I. 3 Manfaat …………………………………………...............………………
                                                                                                                    
BAB 11 TINJAUAN PUSTAKA

BAB III PEMBAHASAN
3.1 Asal-usul Masyarakat Suku Tana Toraja………………………………
3.2 Gambaran Umum Pola Kehidupan Masyarakat Suku Tana Toraja……
3.3 Gambaran ekonomi, budaya  seni tradisional dan bertani masyarakat
      suku Tana Toraja. ………………………………………………………

BAB V PENUTUP                                   
V.1 Kesimpulan ………………………………………………………….……
V.2 Saran ……..…….………………………………………………..…….

DAFTAR PUSTAKA 















BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Indonesia adalah negara dengan berbagai suku bangsa yang mendiaminya dari bagian barat hingga timur. Setiap suku bangsa di Indonesia memiliki pola kehidupan tersendiri. Pola kehidupan itu membuat Indonesia menjadi kaya akan keberagaman.
Keberagaman itu termasuk identitas suku (aspek kesejarahan), sistem sosial, sistem kekerabatan, struktur kelembagaan, adat-istiadat dan kebudayaan serta sistem kepercayaan yang di anut suku tersebut.
Di Indonesia bagian barat, kita mengenal suku Melayu, suku Batak, Mentawai yang memiliki kekhasan budaya. Menyeberangi bagian barat, kita menemukan suku Badui, Jawa, Dayak, dengan keanekaragaman kearifan lokal.
Di bagian Indonesia timur, kita memiliki suku Bima, Bugis, Papua , Tana Toraja yang masih memiliki keaslian budayanya. Bangsa yang bijak adalah bangsa yang menghargai hasil cipta, karya, dan karsa suku bangsa yang mendiaminya. Dari sekian banyak suku bangsa yang ada di Indonesia, ada suku bangsa yang memiliki pola kehidupan yang unik. Yaitu pola kehidupan yang terdapat pada masyarakat suku Tana Toraja.
Suku Tana Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 650.000 jiwa, dengan 450.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja. Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.
Seperti daerah-daerah yang lainnya di Indonesia, daerah Tana Toraja memiliki sejarah yang panjang dan tentu saja tidak diketahui oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Termasuk pola kehidupan yang tidak kalah menarik dengan suku-suku lain yang ada di Indonesia. Tidak hanya peninggalan sejarah, namun juga peninggalan budaya suku Tana Toraja sebagai suku bangsa yang tinggal di Kabupaten Tana Toraja yang masih terjaga kelestariannya sampai saat ini.
1.2 Rumusan Masalah
       Rumusan masalah dari makalah ini adalah
*      Bagaimana asal-usul masyarakat suku Tana Toraja?
*      Bagaimana gambaran umum pola kehidupan sosial suku Tana Toraja?
*      Bagaimana gambaran keadaan ekonomi, budaya dan seni masyarakat suku Tana Toraja?
1.3 Tujuan              
       Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
*      Mengkaji asal-usul masyarakat Tana Toraja.
*      Mengidentifikasi sistem pola kehidupan suku Tana Toraja.
*      Mengidentifikasi perkembangan keadaan ekonomi,budaya dan seni masyarakat suku Tana Toraja.


















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


Pola hidup menurut Kotler (2002, p. 192) adalah gaya hidup seseorang di dunia yang ekspresikan dalam aktivitas, minat, dan opininya. Pola hidup menggambarkan “keseluruhan diri seseorang” dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Pola hidup menggambarkan seluruh pola seseorang dalam beraksi dan berinteraksi di dunia. Menurut Assael (1984, p. 252) , pola hidup adalah “ A mode of living that is identified by how people spend their time (activities), what they consider important in their environment (interest), and what they think of themselves and the world around them (opinions). Secara umum dapat diartikan sebagai suatu pola hidup yang dikenali dengan bagaimana orang menghabiskan waktunya (aktivitas), apa yang penting orang pertimbangkan pada lingkungan (minat), dan apa yang orang pikirkan bagaimana membelanjakan uangnya, dan bagaimana mengalokasikan waktu.
Selain itu, pola hidup menurut Suratno dan Rismiati (2001, p. 174) adalah gaya hidup seseorang dalam dunia kehidupan sehari-hari yang dinyatakan dalam kegiatan, minat dan pendapat yang bersangkutan. Pola hidup mencerminkan keseluruhan pribadi yang berinteraksi dengan lingkungan.
Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pola hidup adalah gaya hidup seseorang yang dinyatakan dalam kegiatan, tentang diri sendiri dan dunia di sekitar (opini). Sedangkan menurut Minor dan Mowen (2002, p. 282), gaya hidup adalah menunjukkan bagaimana orang hidup, minat dan pendapatnya dalam membelanjakan uangnya dan bagaimana mengalokasikan waktu. Faktor-faktor utama pembentuk gaya hidup dapat dibagi menjadi dua yaitu secara demografis dan psikografis. Faktor demografis misalnya berdasarkan tingkat pendidikan, usia, tingkat penghasilan dan jenis kelamin, sedangkan faktor psikografis lebih kompleks karena indikator penyusunnya dari karakteristik konsumen.
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Asal-usul Masyarakat Suku Tana Toraja
3.1.1 Identitas Etnik
Suku Toraja memiliki sedikit gagasan secara jelas mengenai diri mereka sebagai sebuah kelompok etnis sebelum abad ke-20. Sebelum penjajahan Belanda dan masa pengkristenan, suku Toraja, yang tinggal di daerah dataran tinggi, dikenali berdasarkan desa mereka, dan tidak beranggapan sebagai kelompok yang sama. Meskipun ritual-ritual menciptakan hubungan di antara desa-desa, ada banyak keragaman dalam dialek, hierarki sosial, dan berbagai praktik ritual di kawasan dataran tinggi Sulawesi. “Toraja” (dari bahasa pesisir ke, yang berarti orang, dan Riaja, dataran tinggi) pertama kali digunakan sebagai sebutan penduduk dataran rendah untuk penduduk dataran tinggi.
Masyarakat Tana Toraja merupakan hasil dari proses akulturasi antara penduduk (lokal/pribumi) yang mendiami daratan Sulawesi Selatan dengan pendatang yang notabene adalah imigran dari Teluk Tongkin (daratan Cina). (DR. C. Cyrut,2001). Proses akulturasi antara kedua masyarakat tersebut, berawal dari berlabuhnya Imigran Indo Cina dengan jumlah yang cukup banyak di sekitar hulu sungai yang diperkirakan lokasinya di daerah Enrekang, kemudian para imigran ini, membangun pemukimannya di daerah tersebut.
Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti “orang yang berdiam di negeri atas”. Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909. Ada juga versi lain bahwa kata Toraya asal To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar), artinya orang orang besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan kata Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal kemudian dengan Tana Toraja.Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari.
3.1.2 Sejarah Etnik
Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dihubungkan dengan sejarah yang ada di Tana Toraja. Nama suku Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis Sindengreng dan Luwu. Orang Sidengreng menamakan penduduk daerah ini dengan sebutan To Riaja yang mengandung arti “Orang yang berdiam di pegunungan” sedang orang Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya “Orang yang berdiam di sebelah barat”
Teluk Tonkin, terletak antara Vietnam Utara dan Cina Selatan, dipercaya sebagai tempat asal suku Toraja. Telah terjadi akulturasi panjang antara ras Melayu di Sulawesi dengan imigran Cina. Awalnya, imigran tersebut tinggal di wilayah pantai Sulawesi, namun akhirnya pindah ke dataran tinggi.
Sejak abad ke-17, Belanda mulai menancapkan kekuasaan perdagangan dan politik di Sulawesi melalui Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Selama dua abad, mereka mengacuhkan wilayah dataran tinggi Sulawesi tengah (tempat suku Toraja tinggal) karena sulit dicapai dan hanya memiliki sedikit lahan yang produktif. Pada akhir abad ke-19, Belanda mulai khawatir terhadap pesatnya penyebaran Islam di Sulawesi selatan, terutama diantara suku Makassar dan Bugis. Belanda melihat suku Toraja yang menganut animisme sebagai target yang potensial untuk dikristenkan. Pada tahun 1920-an, misi penyebaran agama Kristen mulai dijalankan dengan bantuan pemerintah kolonial Belanda. Selain menyebarkan agama, Belanda juga menghapuskan perbudakan dan menerapkan pajak daerah. Sebuah garis digambarkan di sekitar wilayah Sa’dan dan disebut Tana Toraja. Tana Toraja awalnya merupakan subdivisi dari kerajaan Luwu yang mengklaim wilayah tersebut. Pada tahun 1946, Belanda memberikan Tana Toraja status regentschap, dan Indonesia mengakuinya sebagai suatu kabupaten pada tahun 1957.
Misionaris Belanda yang baru datang mendapat perlawanan kuat dari suku Toraja karena penghapusan jalur perdagangan yang menguntungkan Toraja. Beberapa orang Toraja telah dipindahkan ke dataran rendah secara paksa oleh Belanda agar lebih mudah diatur. Pajak ditetapkan pada tingkat yang tinggi, dengan tujuan untuk menggerogoti kekayaan para elit masyarakat. Meskipun demikian, usaha-usaha Belanda tersebut tidak merusak budaya Toraja, dan hanya sedikit orang Toraja yang saat itu menjadi Kristen. Pada tahun 1950, hanya 10% orang Toraja yang berubah agama menjadi Kristen.
Pada tahun 1930-an, terjadi konflik-konflik antara penduduk Muslim di dataran rendah dengan orang Toraja. Akibatnya, banyak orang Toraja yang ingin beraliansi dengan Belanda berpindah ke agama Kristen untuk mendapatkan perlindungan politik, dan agar dapat membentuk gerakan perlawanan terhadap orang-orang Bugis dan Makassar yang beragama Islam. Antara tahun 1951 dan 1965 setelah kemerdekaan Indonesia, Sulawesi Selatan mengalami kekacauan akibat pemberontakan yang dilancarkan Darul Islam, yang bertujuan untuk mendirikan sebuah negara Islam di Sulawesi. Perang gerilya yang berlangsung selama 15 tahun tersebut turut menyebabkan semakin banyak orang Toraja berpindah ke agama Kristen.
Pada tahun 1965, sebuah dekrit presiden mengharuskan seluruh penduduk Indonesia untuk menganut salah satu dari lima agama yang diakui: Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha. Kepercayaan asli Toraja (aluk) tidak diakui secara hukum, dan suku Toraja berupaya menentang dekret tersebut. Untuk membuat aluk sesuai dengan hukum, ia harus diterima sebagai bagian dari salah satu agama resmi. Pada tahun 1969, Aluk To Dolo dilegalkan sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.
3.2 Gambaran Umum Pola Kehidupan Masyarakat Suku Tana Toraja
3.2.1 Kondisi Sosial
Wilayah Tana Toraja juga digelar Tondok Lili’na Lapongan Bulan tana Matari’allo. Wilayah ini dihuni oleh satu etnis (Etnis Toraja). Dengan jumlah penduduk kurang lebih 458.000 jiwa. Kurang lebih 650.000 jiwa yang hidup merantau dan bekerja di luar wilayah Tana Toraja. Suku Toraja juga memiliki satu bahasa lokal yaitu Bahasa Toraja. Namun untuk pergaulan secara umum mereka menggunakan Bahasa Indonesia; di samping itu sebagian juga dapat berbahasa Inggris, Belanda, Jerman, Jepang dan Mandarin. Mereka yang masuk kategori ini adalah putra-putra Toraja yang bertugas sebagai guide-guide untuk tourist.
Sampai saat ini budaya luar tidak cukup kuat mempengaruhi cara hidup sehari-hari orang Toraja yang begitu ramah, hidup rukun, damai dan harminis serta dengan tangan terbuka menyapa tamu-tamunya untuk datang menyatu di dalam pesta-pesta adat Toraja baik pesta Rambu Tuka maupun pesta Rambu Solo.
Dalam masyarakat Toraja awal, hubungan keluarga bertalian dekat dengan kelas sosial. Ada tiga tingkatan kelas sosial: bangsawan, orang biasa, dan budak (perbudakan dihapuskan pada tahun 1909 oleh pemerintah Hindia Belanda). Kelas sosial diturunkan melalui ibu. Tidak diperbolehkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih rendah tetapi diizinkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih tingi, ini bertujuan untuk meningkatkan status pada keturunan berikutnya. Sikap merendahkan dari Bangsawan terhadap rakyat jelata masih dipertahankan hingga saat ini karena alasan martabat keluarga.

Kaum bangsawan, yang dipercaya sebagai keturunan dari surga, tinggal di tongkonan, sementara rakyat jelata tinggal di rumah yang lebih sederhana (pondok bambu yang disebut banua). Budak tinggal di gubuk kecil yang dibangun di dekat tongkonan milik tuan mereka. Rakyat jelata boleh menikahi siapa saja tetapi para bangsawan biasanya melakukan pernikahan dalam keluarga untuk menjaga kemurnian status mereka. Rakyat biasa dan budak dilarang mengadakan perayaan kematian. Meskipun didasarkan pada kekerabatan dan status keturunan, ada juga beberapa gerak sosial yang dapat memengaruhi status seseorang, seperti pernikahan atau perubahan jumlah kekayaan. Kekayaan dihitung berdasarkan jumlah kerbau yang dimiliki.

Budak dalam masyarakat Toraja merupakan properti milik keluarga. Kadang-kadang orang Toraja menjadi budak karena terjerat utang dan membayarnya dengan cara menjadi budak. Budak bisa dibawa saat perang, dan perdagangan budak umum dilakukan. Budak bisa membeli kebebasan mereka, tetapi anak-anak mereka tetap mewarisi status budak. Budak tidak diperbolehkan memakai perunggu atau emas, makan dari piring yang sama dengan tuan mereka, atau berhubungan seksual dengan perempuan merdeka. Hukuman bagi pelanggaran tersebut yaitu hukuman mati.

3.2.2 Sistem Kepercayaan
Sistem kepercayaan tradisional suku Toraja adalah kepercayaan animisme politeistik yang disebut aluk, atau “jalan” (kadang diterjemahkan sebagai “hukum”). Dalam mitos Toraja, leluhur orang Toraja datang dari surga dengan menggunakan tangga yang kemudian digunakan oleh suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan Puang Matua, dewa pencipta. Alam semesta, menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas (Surga) dunia manusia (bumi), dan dunia bawah. Pada awalnya, surga dan bumi menikah dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul cahaya. Hewan tinggal di dunia bawah yang dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi panjang yang dibatasi oleh empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat manusia, dan surga terletak di atas, ditutupi dengan atap berbetuk pelana. Dewa-dewa Toraja lainnya adalah Pong Banggai di Rante (dewa bumi), Indo’ Ongon-Ongon (dewi gempa bumi), Pong Lalondong (dewa kematian), Indo’ Belo Tumbang (dewi pengobatan), dan lainnya.
Kekuasaan di bumi yang kata-kata dan tindakannya harus dipegang baik dalam kehidupan pertanian maupun dalam upacara pemakaman, disebut to minaa (seorang pendeta aluk). Aluk bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan dari hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk mengatur kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian, dan ritual keagamaan. Tata cara Aluk bisa berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum yang umum adalah peraturan bahwa ritual kematian dan kehidupan harus dipisahkan. Suku Toraja percaya bahwa ritual kematian akan menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya digabung dengan ritual kehidupan. Kedua ritual tersebut sama pentingnya. Ketika ada para misionaris dari Belanda, orang Kristen Toraja tidak diperbolehkan menghadiri atau menjalankan ritual kehidupan, tetapi diizinkan melakukan ritual kematian. Akibatnya, ritual kematian masih sering dilakukan hingga saat ini, tetapi ritual kehidupan sudah mulai jarang dilaksanakan.
3.2.3 Sistem Kekerabatan
Masyarakat Toraja terbagi atas keluarga inti, penanggung jawab keluarga adalah ayah dan diganti anak laki-laki bila meninggal sedangkan ibu hanya mendidik anak dan menjaga nama baik keluarga. Masyarakat Toraja mengikuti garis keturunan Bilateral. Keluarga adalah kelompok sosial dan politik utama dalam suku Toraja. Setiap desa adalah suatu keluarga besar. Setiap tongkonan memiliki nama yang dijadikan sebagai nama desa. Keluarga ikut memelihara persatuan desa. Pernikahan dengan sepupu jauh (sepupu keempat dan seterusnya) adalah praktek umum yang memperkuat hubungan kekerabatan.Suku Toraja melarang pernikahan dengan sepupu dekat (sampai dengan sepupu ketiga) kecuali untuk bangsawan, untuk mencegah penyebaran harta.

        Hubungan kekerabatan berlangsung secara timbal balik, dalam artian bahwa keluarga besar saling menolong dalam pertanian, berbagi dalam ritual kerbau, dan saling membayarkan hutang.

Setiap orang menjadi anggota dari keluarga ibu dan ayahnya. Anak, dengan demikian, mewarisi berbagai hal dari ibu dan ayahnya, termasuk tanah dan bahkan utang keluarga. Nama anak diberikan atas dasar kekerabatan, dan biasanya dipilih berdasarkan nama kerabat yang telah meninggal. Nama bibi, paman dan sepupu yang biasanya disebut atas nama ibu, ayah dan saudara kandung.
Siulu (keluarga batih) merupakan unsur terkecil dalam sistem kekerabatan masyarakat Toraja. Di samping itu di kenal pula keluarga luas extended yang terdiri dari beberapa keluarga batih, yang masih seketurunan. Hubungan kekerabatan dapat terbentuk berdasarkan dua hal, yaitu:
1. Adanya pertalian darah (kandappi)
2. Melalui perkawinan (rampean)
Untuk menjaga kelangsungan hubungan kekerabatan dilakukan dengan cara menjamin hak dan kewajiban setiap kelompok kekerabatan. Misalnya hak penguasaan atas tanah, harta, kedudukan, dan sebagainya. Di samping itu kewajiban-kewajiban dari setiap kelompok kekearabatan harus dilaksanakan, misalnya yang dapat diketahui pada saat pembuatan rumah tongkonan secara bergotong royong, saling bantu dalam penyelenggaraan upacara-upacara adat terutama upacara rambu solo’, mengerjakan sawah, panen, dan lain-lain. Dalam hal ini fungsi utama suatu keluarga adalah menanamkan nilai-nilai budaya yang berlaku kepada para anggotanya untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan sosial budaya.
3.2.4 Sistem Perkawinan
Sistem perkawinan yang berorientasi pada lapisan sosial masyarakat. Seorang wanita dari golongan Tana’ Bulaan tidak diperkenankan kawin dengan pria yang berasal dari golongan lebih rendah. Apabila perkawinan itu tetap berlangsung, mereka akan dikenakan sanksi adat. Peristiwa demikian disebut Untekaq Palandian atau Untekaq Layuk (melangkahi turunan). Sedangkan bagi seorang pria boleh saja beristri seorang wanita yang golongannya lebih rendah, akan tetapi mereka tidak bisa dinikahkan secara adat dan keturunan mereka tidak berhak mendapat warisan atau gelar Tana’ Bulaan.
3.2.5 Sistem Perkampungan/ Organisasi Sosial
Dalam kehidupan masyarakat Toraja, dikenal adanya pelapisan sosial yang disebut dengan Tana’ (kasta) yang sangat mempengaruhi perkembangan masyarakat dan kebudayaan Torqaja . Menurut L.T. Tangdilintin (1974, 75) mengatakan bahwa pelapisan sosial membedakan masyrakat atas empat golongan masyarakat, yaitu:
1. Tana’ Bulaan, adalah lapisan masyarakat atas atau bangsawan tinggi sebagai pewaris sekurang aluk, yaitu dipercayakan untuk membuat aturan hidup dan memimpin agama, dengan jabatan puang, maqdika, dan Sokkong bayu (siambeq).
2. Tana’ bassi, adalah lapisan bangsawan menengah sebagai pewaris yang dapat menerima maluangan batang(pembantu pemerintahan adat) yang ditugaskan mengatur masalah kepemimpinan dan pendidikan.
3. Tana’ Karurunge adalah lapisan masyarakat kebanyakan yang merdeka, tidak pernah diperintah langsung. Golongan ini sebagai pewaris yang menerima Pande, yakni ketrampilan pertukangan, dan menjadi Pembina aluk todolo untuk urusan aluk petuoan, aluk tanaman yang dinamakan Toindoq padang (pemimpin upacara pemujaan kesuburan).
4.  Tana’ Kua-kua adalah golongan yang berasal dari lapisan hamba sahaya, sebagai pewaris tanggung jawab pengabdi kepada tana’ bulaan dan tana’ bassi. Golongan ini disebut juga tana’ matuqtu inaa (pekerja), juga bertindak sebagai petugas pemakan yang disebut tomebalun atau tomekayu (pembuat balun orang mati). Lapisan tana’ kua-kua ini dihapuskan oleh pemerintah Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan karena tidak sesuai dengan harkat dan martabat manusia. Namun kenyataannya dalam pelaksaaan upacara-upacara adat golongan ini masih terlihat.
Keempat golongan lapisan sosial tersebut merupakan dasar atau pedoman yang dijadikan sendi bagi kebudayaan kehidupan sosial masyarakat Toraja, terutama dalam interaksi dan aktifitas masyarakat, seperti pada saat diselenggarakan upacara perkawinan, pemakaman, pengangkatan ketua atau pemimpin adat dan sebagainya. Misalnya dalam upacara pengangkatan seorang pemimpin, yang menjadi penilaian utama adalah dari golongan apa orang yang bersangkutanberasal. Kedudukan dalam sistem kepemimpinan tradisional berkaitan dengan sistem pelapisan sosial yang berlaku dalam serta kepemilikan tongkonan (rumah adat).
Demikian pula Dalam sistem perkawinan, dan pembagian warisan juga berorientasi pada lapisan sosial masyarakat. Seorang wanita dari golongan tana’ bulaan tidak diperkenankan kawin dengan pria yang berasal dari golongan lebih rendah. Apabila perkawinan itu tetap berlangsung, mereka akan dikenakan sanksi adat. Peristiwa demikian disebut unteqaq palansian atau untekaq layuq (melangkahi turunan). Sedangkan bagi seorang pria boleh saja beristeri seorang wanita yang golongannya lebih rendah, akan tetapi mereka tidak bisa dinikahkan secara adat, dan keturunan mereka tidak berhak mendapat warisan atau gelar sebagai tana’ bulaan.
Dalam pelasanaan upacara pemakaman (rambu solo’) banyaknya hewan yang akan dipotong sebagai korban bergantung disesuaikan dengan golongan sosial yang menyelenggarakan upacara. Misalnya golongan tana’ bulaan, sebagai lapisan sosial tertinggi, harus mengorbankan lebih banyak hewan dibandingkan golonagan sosial lainnya. Hewan yang akan dipotong harus dalam keadaan sehat, tubuhnya besar/gemuk, dan tanduknya panjang.
3.3 Gambaran ekonomi, budaya  seni tradisional dan bertani masyarakat suku Tana Toraja.
3.3.1 Ekonomi
Sebelum masa Orde Baru, ekonomi Toraja bergantung pada pertanian dengan adanya terasering di lereng-lereng gunung dan bahan makanan pendukungnya adalah singkong dan jagung. Banyak waktu dan tenaga dihabiskan suku Toraja untuk berternak kerbau, babi, dan ayam yang dibutuhkan terutama untuk upacara pengorbanan dan sebagai makanan. Satu-satunya industri pertanian di Toraja adalah pabrik kopi Jepang, Kopi Toraja.
Dengan dimulainya Orde Baru pada tahun 1965, ekonomi Indonesia mulai berkembang dan membuka diri pada investasi asing. Banyak perusahaan minyak dan pertambangan Multinasional membuka usaha baru di Indonesia. Masyarakat Toraja, khususnya generasi muda, banyak yang berpindah untuk bekerja di perusahaan asing. Mereka pergi ke Kalimantan untuk kayu dan minyak, ke Papua untuk menambang, dan ke kota-kota di Sulawesi dan Jawa. Perpindahan ini terjadi sampai tahun 1985.
Ekonomi Toraja secara bertahap beralih menjadi pariwisata berawal pada tahun 1984. Antara tahun 1984 dan 1997, masyarakat Toraja memperoleh pendapatan dengan bekerja di hotel, menjadi pemandu wisata, atau menjual cinderamata. Timbulnya ketidakstabilan politik dan ekonomi Indonesia pada akhir 1990-an (termasuk berbagai konflik agama di Sulawesi) telah menyebabkan pariwisata Toraja menurun secara drastis.
3.3.2 Tongkonan
Tiga tongkonan di desa Toraja.
Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata “tongkonan” berasal dari bahasa Toraja tongkon (“duduk”).
Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja oleh karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut serta karena Tongkonan melambangan hubungan mereka dengan leluhur mereka. Menurut cerita rakyat Toraja, tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan menggelar upacara yang besar.
Pembangunan tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya dilakukan dengan bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis tongkonan.
1.      Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi, yang digunakan sebagai pusat “pemerintahan”.
2.       Tongkonan pekamberan adalah milik anggota keluarga yang memiliki wewenang tertentu dalam adat dan tradisi lokal sedangkan
3.       Anggota keluarga biasa tinggal di tongkonan batu. Eksklusifitas kaum bangsawan atas tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya rakyat biasa yang mencari pekerjaan yang menguntungkan di daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh cukup uang, orang biasa pun mampu membangun tongkonan yang besar.
3.3.3 Ukiran kayu
Bahasa Toraja hanya diucapkan dan tidak memiliki sistem tulisan. Untuk menunjukkan kosep keagamaan dan sosial, suku Toraja membuat ukiran kayu dan menyebutnya Pa’ssura (atau “tulisan”). Oleh karena itu, ukiran kayu merupakan perwujudan budaya Toraja.
Setiap ukiran memiliki nama khusus. Motifnya biasanya adalah hewan dan tanaman yang melambangkan kebajikan, contohnya tanaman air seperti gulma air dan hewan seperti kepiting dan kecebong yang melambangkan kesuburan. Panel tengah bawah melambangkan kerbau atau kekayaan, sebagai harapan agar suatu keluarga memperoleh banyak kerbau. Panel tengah melambangkan simpul dan kotak, sebuah harapan agar semua keturunan keluarga akan bahagia dan hidup dalam kedamaian, seperti barang-barang yang tersimpan dalam sebuah kotak. Kotak bagian kiri atas dan kanan atas melambangkan hewan air, menunjukkan kebutuhan untuk bergerak cepat dan bekerja keras, seperti hewan yang bergerak di permukaan air. Hal Ini juga menunjukkan adanya kebutuhan akan keahlian tertentu untuk menghasilkan hasil yang baik.
Keteraturan dan ketertiban merupakan ciri umum dalam ukiran kayu Toraja , selain itu ukiran kayu Toraja juga abstrak dan geometris. Alam sering digunakan sebagai dasar dari ornamen Toraja, karena alam penuh dengan abstraksi dan geometri yang teratur. Ornamen Toraja dipelajari dalam ethnomatematika dengan tujuan mengungkap struktur matematikanya meskipun suku Toraja membuat ukiran ini hanya berdasarkan taksiran mereka sendiri. Suku Toraja menggunakan bambu untuk membuat oranamen geometris.
3.3.3.4 Upacara pemakaman
Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ribuan orang dan berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.
Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman. Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya
Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Semakin berkuasa seseorang maka semakin banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok. Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu pemiliknya, yang sedang dalam “masa tertidur”. Suku Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puya jika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.
Ada tiga cara pemakaman:
1.      Peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di makam batu berukir, atau digantung di tebing.
2.      Orang kaya kadang-kadang dikubur di makam batu berukir. Makam tersebut biasanya mahal dan waktu pembuatannya sekitar beberapa bulan. Di beberapa daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh anggota keluarga.
3.        Patung kayu yang disebut tau tau biasanya diletakkan di gua dan menghadap ke luar. Peti mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing. Tali tersebut biasanya bertahan selama setahun sebelum membusuk dan membuat petinya terjatuh.
Suku Toraja di Sulawesi Selatan sudah lama terkenal dengan alam pegunungannya yang permai serta ritual adatnya yang unik. Yang paling tersohor, tentu saja, pesta Rambu Solo yang digelar menjelang pemakaman tokoh yang dihormati. Tiap tahun pesta yang berlangsung di beberapa tempat di Suku Toraja ini senantiasa mengundang kedatangan ribuan wisatawan.
Upacara adat Rambu Solo
Upacara ini dilakukan untuk memakamkan leluhur atau orang tua. Bila ada salah satu warga (orang tua atau leluhur ) yang meninggal orang-orang berbaris pergi kerumah orang tersebut mengikuti dibelakang mereka hewan ternak untuk dipersembahkan pada tuan rumah dan tuan rumah pun menyambut dengan ramah dan diiringi oleh tari-tarian dan beraneka ragam santapan yang telah dipersiapkan diatas daun pisang. Namun dalam Pelaksanaannya upacara ini terbagi menjadi empat tingkatan yang mengacu pada strata sosial masyarakat Toraja, yakni :
*      Dipasang Bongi: Upacara yang hanya dilaksanakan dalam satu malam
*      Dipatallung Bongi: Upacara yang berlangsung selama tiga malam dan dilaksanakan dirumah dan ada pemotongan hewan
*      Dipalimang Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama lima malam dan dilaksanakan disekitar rumah serta pemotongan hewan
*      Dipapitung Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama tujuh malam setiap harinya ada pemotongan hewan.
Pemakaman kematian bagi masyarakat Toraja menjadi salah satu hal yang paling bermakna, sehingga tidak hanya upacara prosesi pemakaman yang dipersiapkan ataupun peti mati yang dipahat menyerupai hewan ( Erong ), namun mereka juga mempersiapkan tempat “peristirahatan terakhir” dengan sedemikian apiknya, yang tentunya tidak lepas dari strata yang berlaku dalam masyarakat Toraja maupun ekonomi individu.
Pada umunya tempat menyimpan jenazah adalah gua atau tebing gunung atau dibuatkan sebuah rumah ( Pa’tane ). Budaya ini telah diwarisi secara turun temurun oleh leluhur mereka, adat masyarakat Toraja menyimpan jenazah pada liang gua atau tebing merupakan kekayaan budaya yang begitu menarik untuk disimak lebih dalam lagi, Dapat dijumpai puluhan Erong yang berderet dalam bebatuan yang telah dilubangi, tengkorak berserak disisi batu menandakan petinya telah rusak akibat di makan usia.
sebenarnya ada satu ritual adat nan langka di Toraja, yakni Ma’ Nene’, yakni ritual membersihkan dan mengganti busana jenazah leluhur.

Upacara adat Ma’Nene
Salah satu tradisi yang masih terjaga dengan baik oleh masyarakat setempat hingga saat ini adalah ritual “Ma'Nene” atau mayat yang berjalan. Tradisi ini merupakan prosesi penggantian pakaian dan peti mayat pada kuburan batu. Ritual ini hanya dilakukan sekali dalam satu generasi (25 tahun) saja. Di Desa Lando Rundung Kecamatan Sesean Suluara, Kabupaten Toraja Utara, tradisi ritual Ma'nene masih dipegang teguh oleh masyarakat setempat. Ritual ini memang hanya dikenal masyarakat Baruppu di pedalaman Toraja Utara. Biasanya, Ma’ Nene’ digelar tiap bulan Agustus.
Saat Ma’ Nene’ berlangsung, peti-peti mati para leluhur, tokoh dan orang tua, dikeluarkan dari makam-makam dan liang batu dan diletakkan di arena upacara. Di sana, sanak keluarga dan para kerabat sudah berkumpul. Secara perlahan, mereka mengeluarkan jenazah (baik yang masih utuh maupun yang tinggal tulang-belulang) dan mengganti busana yang melekat di tubuh jenazah dengan yang baru.
Dalam perkembangan jaman ritual Ma’nene, terjadi pergeseran dimana ritual ini tidak lagi dilaksanakan setiap 25 tahun tetapi dilaksanakan setiap tiga tahun sekali. Tentu ritual ini tidak dilakukan begitu saja tampa ada persetujuan dan kesepakatan dari semua pihak, mulai dari pemuka adat hingga pengurus gereja.
Ritual Ma`nene sendiri dilakukan setiap tahun sekali. Ini merupakan satu-satunya warisan leluhur yang masih dipertahankan secara rutin hingga kini. Kesetiaan mereka terhadap amanah leluhur melekat pada setiap warga desa.
Penduduk Desa Baruppu percaya jika ketentuan adat yang diwariskan dilanggar maka akan datang musibah yang melanda seisi desa. Misalnya, gagal panen atau salah satu keluarga akan menderita sakit berkepanjangan.

3.3.6 Musik dan Tarian
Suku Toraja melakukan tarian dalam beberapa acara, kebanyakan dalam upacara penguburan. Mereka menari untuk menunjukkan rasa duka cita, dan untuk menghormati sekaligus menyemangati arwah almarhum karena sang arwah akan menjalani perjalanan panjang menuju akhirat. Pertama-tama, sekelompok pria membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu sepanjang malam untuk menghormati almarhum (ritual terseebut disebut Ma’badong).
Ritual tersebut dianggap sebagai komponen terpenting dalam upacara pemakaman. Pada hari kedua pemakaman, tarian prajurit Ma’randing ditampilkan untuk memuji keberanian almarhum semasa hidupnya. Beberapa orang pria melakukan tarian dengan pedang, prisai besar dari kulit kerbau, helm tanduk kerbau, dan berbagai ornamen lainnya. Tarian Ma’randing mengawali prosesi ketika jenazah dibawa dari lumbung padi menuju rante, tempat upacara pemakaman. Selama upacara, para perempuan dewasa melakukan tarian Ma’katia sambil bernyanyi dan mengenakan kostum baju berbulu. Tarian Ma’akatia bertujuan untuk mengingatkan hadirin pada kemurahan hati dan kesetiaan almarhum. Setelah penyembelihan kerbau dan babi, sekelompok anak lelaki dan perempuan bertepuk tangan sambil melakukan tarian ceria yang disebut Ma’dondan.
Tarian Manganda’ ditampilkan pada ritual Ma’Bua’.Seperti di masyarakat agraris lainnya, suku Toraja bernyanyi dan menari selama musim panen. Tarian Ma’bugi dilakukan untuk merayakan Hari Pengucapan Syukur dan tarian Ma’gandangi ditampilkan ketika suku Toraja sedang menumbuk beras Ada beberapa tarian perang, misalnya tarian Manimbong yang dilakukan oleh pria dan kemudian diikuti oleh tarian Ma’dandan oleh perempuan. Agama Aluk mengatur kapan dan bagaimana suku Toraja menari. Sebuah tarian yang disebut Ma’bua hanya bisa dilakukan 12 tahun sekali. Ma’bua adalah upacara Toraja yang penting ketika pemuka agama mengenakan kepala kerbau dan menari di sekeliling pohon suci.

3.3.7 Alat musik tradisional Toraja
Adapun musik tradisional Toraja meliputi Passuling, Pa’pelle, dan Pa’pompang. Musik tersebut pada umumnya terbuat dari bahan baku alam, seperti bambu, batang padi, daun enau, dan tempurung kelapa yang dimainkan pada upacara adat. (Said, 2004:41-45)
Pa’suling berlubang enam ini dimainkan pada banyak tarian, seperti pada tarian Ma’bondensan, ketika alat ini dimainkan bersama sekelompok pria yang menari dengan tidak berbaju dan berkuku jari panjang. Pa’pelle dimainkan pada waktu panen dan ketika upacara pembukaan rumah.
3.3.8 Bahasa
Bahasa Toraja adalah bahasa yang dominan di Tana Toraja, dengan Sa’dan Toraja sebagai dialek bahasa yang utama. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah bahasa resmi dan digunakan oleh masyarakat, akan tetapi bahasa Toraja pun diajarkan di semua sekolah dasar di Tana Toraja.
Ragam bahasa di Toraja antara lain Kalumpang, Mamasa, Tae’ , Talondo’ , Toala’ , dan Toraja-Sa’dan, dan termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia dari bahasa Austronesia. Pada mulanya, sifat geografis Tana Toraja yang terisolasi membentuk banyak dialek dalam bahasa Toraja itu sendiri. Setelah adanya pemerintahan resmi di Tana Toraja, beberapa dialek Toraja menjadi terpengaruh oleh bahasa lain melalui proses transmigrasi, yang diperkenalkan sejak masa penjajahan. Hal itu adalah penyebab utama dari keragaman dalam bahasa Toraja. Ciri yang menonjol dalam bahasa Toraja adalah gagasan tentang duka cita kematian. Pentingnya upacara kematian di Toraja telah membuat bahasa mereka dapat mengekspresikan perasaan duka cita dan proses berkabung dalam beberapa tingkatan yang rumit. Bahasa Toraja mempunyai banyak istilah untuk menunjukkan kesedihan, kerinduan, depresi, dan tekanan mental. Merupakan suatu katarsis bagi orang Toraja apabila dapat secara jelas menunjukkan pengaruh dari peristiwa kehilangan seseorang; hal tersebut kadang-kadang juga ditujukan untuk mengurangi penderitaan karena duka cita itu sendiri.
3.3.9 Cara Masyarakat Toraja dalam Bersawah
Ibu Den Upa adalah istri dari Almarhum Bapak Laso’ Sombolinggi, tokoh gerakan masyarakat adat dan tetua kampung di Toraja yang turut mempelopori kelahiran Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Pertanyaan yang dilontarkannya saat itu memberikan deskripsi terhadap bagaimana situasi pengelolaan sumber daya alam di Toraja, khususnya pertanian, telah mengalami degradasi yang kian mengancam keberlangsungan alam dan budaya. Persoalannya adalah pada kecenderungan perubahan cara Orang Toraja bersawah.
Nasi adalah makanan pokok dan menanam padi di sawah adalah keseharian masyarakat Toraja. Dulu bersawah tak bisa dikatakan sebagai pekerjaan karena tujuan menanam padi bukanlah komoditi. Konon, padi dipercaya sebagai salah satu tanaman yang dibawa turun dari langit oleh nenek moyang. Ada hal yang unik dari pola bersawah mereka, yaitu sistem bercocok tanam yang terintegrasi (padi, ikan, kebun, ternak) berdasarkan pengetahuan lokal. Saat ini kita mengenalnya secara lebih trendy dengan sebutan integrated farming. Jauh sebelum konsep itu populer, banyak masyarakat adat kita telah lebih dulu mengenalnya. Begitu pun dengan Toraja, proses bercocok tanam tak lepas dari aspek budaya. Setiap tahapan harus dimulai dengan upacara adat yang punya makna holistik terkait “tuhan,” leluhur, “penghuni/penguasa” tempat, roh/peri, alam, dan manusia. Pada lahan atau area yang sama, petani Toraja dapat mengoptimalkan hasil dari panen padi, seperti ikan air tawar, kebun sayur, dan ternak lain. Kekhasan tersebut dikenal dengan nama “kuang” dan “alang.”

Kearifan Lokal Kuang &Alang
Ada yang berbeda dari area persawahan di Tanah Toraja ketika saya berkeliling kampung yang rindang dan teduh. Soal keindahan panoramanya itu sudah pasti! Tapi keunikan yang menarik perhatian adalah keberadaan semacam kubangan air di tengah sawah.
Kuang adalah sumur kecil sedalam sekitar dua meter dengan bentuk melingkar atau persegi dan merupakan bentuk kearifan masyarakat Toraja dalam mengoptimalisasi lahan sawah sekaligus keberlangsungan ekosistem. Di kawasan lain di Toraja,kuang juga dikenal dengan sebutan



lokal gusean atau kurunganKuang mempunyai fungsi yang beragam. Selain pengontrol kuantitas air sawah dan cadangan air bagi sawah tadah hujan, kuang juga dimanfaatkan sebagai sarang ikan. Sebagai suatu sistem, kuang tak bisa dipisahkan dari pola pengelolaan fisik sawah dan proses bertani di sawah. Masyarakat Toraja umumnya menekankan prinsip kebersamaan/gotong royong dalam menggarap sawah. Dalam satu area persawahan terasering di dataran tinggi, terdapat puluhan, bahkan ratusan petak sawah. Awalnya, tahapan menyiapkan lahan untuk bibit hingga panen dilakukan secara serentak. Aktivitas kolektif tersebut dilakukan dengan serangkaian ritual. Kebersamaan dalam melakukan ritual itu juga terkait distribusi air secara komunal. Kuang akan terlebih dulu disiapkan, lalu bibit-bibit ikan ditebar sebelum bibit-bibit padi ditanam. Dalam satu petak sawah, dapat dibuat satu hingga tiga kuang - tergantung pada luasan sawah yang dimiliki. Untuk menandakan keberadaan kuang dan menahan agar struktur kuang tidak rusak atau longsor, tepian dan dinding kuang ditopang dengan bambu atau tanaman berakar kuat sejenis rerumputan.
Dipeliharanya ikan-ikan pada kuang bermakna layaknya tabungan lauk bagi pemilik sawah. Misalnya, kuangpertama berisi ikan untuk konsumsi sehari-hari, kuang kedua berisi ikan untuk upacara, dan kuang ketiga berisi ikan untuk hidangan menyambut tamu.
Selain kuang, setiap petak sawah memiliki saluran pintu air (panta’dara). Area yang berada dekat dengan pintu air dibuat lebih dalam dibanding area lain. Area yang lebih dalam itulah yang menjadi area ikan-ikan berkumpul. Ikan mas menjadi favorit hidangan Orang Toraja. Ada pula lele, belut, dan ikan lumpur lainnya. Jika panen tiba, pemilik sawah akan memberikan pengumuman kapan masyarakat bisa ikut menikmati lauk ikan segar dengan mengambil ikan yang hanya ada di area pintu air. Hal itu merupakan tradisi kebersamaan. Karena air yang mengalir adalah milik bersama, maka panen ikan pun bisa dinikmati secara bersama. Kira-kira begitulah filosofi sederhananya.
Cerita tentang kuang ini saya dapatkan dari Rukka Sombolinggi, anak Ibu Den Upa. “Menjelang pengumuman untuk ambil ikan bersama itu dinanti-nanti betul oleh orang-orang. Mereka bisa menunggu sejak malam, loh!” ungkapnya mengenang peristiwa masa kecilnya.
Selain optimalisasi untuk perikanan, area tepian sawah juga ditanami sayur dan palawija, seperti kangkung, ubi, dan sayur-mayur yang dimakan sehari-hari. Menurut Rukka, dulu kalau orang pergi bersawah pasti akan menemukan sayur untuk dimakan. Jika tidak sedang masa tanam, area sawah sekaligus jadi kubangan kerbau dan tempat bermain bebek-bebek. Pola inilah yang membuat petani di Toraja memiliki cadangan pangan (termasuk sayur dan lauk-pauk) yang lebih dari cukup untuk konsumsi harian yang dimasak dengan berbagai cara: dibakar, dimasak dalam bambu (piong), atau dimasak kuah.Perlu diketahui bahwa masyarakat Toraja memiliki banyak jenis bibit padi lokal yang menghasilkan variasi beras putih, merah, dan hitam. Bibit lokal telah memberikan hasil panen yang memuaskan dan memiliki karakter bulir padi yang besar serta daya tahan yang relatif tinggi terhadap hama ketika ditanam maupun disimpan di lumbung dalam waktu relatif lama. Orang Toraja mengenal lumbung padi sebagai alang. Seperti halnya kuangalang adalah sistem kearifan lokal yang terkait ketahanan pangan. Jika gorang memiliki makna sekadar gudang padi, lain hal dengan alang yang punya makna budaya dan status sosial.
Kuang memiliki fungsi yang dominan pada aspek ekologis sebagai stabilisator ekosistem dan salah satu penyedia lauk, sementara alang memiliki arti/peran yang holistik pada tradisi. Alang biasanya diletakkan berbaris di depan rumah besar tradisional (tongkonan). Bentuk lumbung inilah yang mirip dengan rumah besar dengan atap serupa bahtera dan keseluruhan permukaan bangunannya dipenuhi ukiran simetris berwarna hitam, merah, putih, dan kuning. Alang menjadi simbol yang mewakili “anak” dari tongkonan, sehingga corak pahatan pada dinding kayu alang pun tak sembarangan dibuat, melainkan mengacu pada motif induknya. Maka, kompleks tongkonan (dengan alang-alang-nya) bisa dikatakan sebagai mikrokosmos Orang Toraja. Di sinilah letak filosofi kehidupan dan identitas Toraja melekat.
Ketika panen raya tiba, gabah-gabah disimpan di lumbung dan akan digunakan sebagai cadangan pangan dan dikonsumsi sehari-hari untuk makan dan upacara adat. Selain menjadi gudang pangan, bagian bawah lumbung juga digunakan sebagai tempat menerima tamu serta tempat duduk bagi keluarga ketika menghadiri upacara. Mereka yang duduk di lumbung memiliki aturan untuk urutan duduk secara hierarkis.









BAB IV
PENUTUP

4.1 KESIMPULAN
            Kesimpulan dari makalah ini yaitu:
1.       Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti “orang yang berdiam di negeri atas”. Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909. Ada juga versi lain bahwa kata Toraya asal To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar), artinya orang orang besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan kata Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal kemudian dengan Tana Toraja.Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya.


4.2 Saran
Saran yang dapat kami berikan untuk pemerintah yaitu agar pelestarian budaya Toraja agar lebih ditingkatkan. Begitu pula masyarakat Toraja tetap mempertahankan budaya dan adat mereka, karena hal itulah yang menjadi ciri khas daerah Toraja, dan semoga kedepan Toraja sebagai pusat daerah pariwisata dan objek penelitian pendidikan, karna begitu banyak hal menarik dan unik dari budaya mereka untuk diteliti di dalamnya.












DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1953. Ensiklopedia Sejarah Sulawesi Selatan Sampa Tahu 1905 Makassar   :   Badan Peneli an    dan    Pengembangan    Daerah (Balitbangda) Provinsi Sulawesi Selatan
Arianto bakri. 2011. https://www.academia.edu/5349904/MAKALAH_BUDAYA _ TORAJA(Diakses 15 April 2016).
Nurdiyansah Dalidjo. 2010. http://perkumpulanskala.net/index.php/en/culture/165-kearifan-lokal-toraja-dalam-bersawah(Diakses 15 April 2016).
RihaLidiya.2013.http://kotakilmurihalidiyanugroho.blogspot.co.id/2013/04/kebudayaantanatoraja.html(Diakses 16 April 2016).
Tangdilin  n, L.T, 1981. Toraja dan Kebudayaannya. Tana Toraja : Yayasan Lepongan Bulan (YALBU).
Tanudirjo, Daud Aris.Pengelolaan Sumberdaya Arkeologi:Suatu Pengantar. Makalah untuk Pela  han Pengelolaan Sumberdaya Arkeologi, d Trowulan Mojokerto 2 Agustus  –   1
September 2004.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar